Skip to main content

SEORANG PENGEMIS TUA DALAM BAYANGAN (DIALOG DIRI)

Aku termenung di atas kursi kecil kuning. Kala misa dengan layar gawai hampir ditutup dan Romo memberi berkat. Apa ya? Apa sesuatu yang ingin kuungkapkan ini? Cariku dalam hening memandang lilin yang tertiup angin.

Seperti ada sesuatu yang kupikirkan beberapa hari belakangan. Tapi entah apa kata kunci yang tepat mengungkapkannya. Sejak bangun hingga tidur lagi kucari tahu apa. Lalu tiba-tiba dalam kekosongan sebuah rupa menghampiri.

Kulihat rupa seorang pengemis tua, yang duduk terdiam dan berdoa. Mendengar hujan dan membayangkan nasib keluarganya. Makan apa hari ini, semoga ada saja...

Aku...

Yang hampir ratusan malam mencari-cari, siapa aku ini, ingin menjadi apa aku nanti, dan mengecam diri kalau-kalau tak jadi orang yang berarti... Menemukan sebuah kalimat yang tiba-tiba

"Tidak semua hal bisa kita raih di dunia ini. Juga tidak semua hal bisa kita miliki di dunia ini."

Aku...

Yang iri melihat kawan-kawan menunjukkan hebatnya hidup mereka, tingginya jabatan mereka, semerbaknya nama mereka, seakan berhasil mengalahkan dunia... Tertunduk lesu, melungkar dalam kasurku, merusak mataku dengan cemburu sambil membaca kisah mereka dalam gelapnya kamar, karena merasa tidak berguna.

Aku...

Yang bingung mencari jati diri, merasa ingin ini itu banyak sekali, menjadi pahlawan, menjadi pujaan, menjadi kekasih, menjadi hal hebat bagi dunia, mengerang pelan memandang rupa yang hadir tiba-tiba dalam kepala.

Tuhan, aku hanya ingin mempergunakan talenta yang Kau percayakan. Aku hanya ingin membahagiakan orang tua dan orang yang kusayang dengan menjadi seseorang yang hidup mapan dan punya prestasi. Tapi kenapa tak kunjung ku dapat perasaan itu?

Semua hening. Tidak ada jawaban. Sama seperti ratusan malam sebelumnya.

Tapi hatiku terus saja berbisik,

"Mungkin kau memang harus berjalan dengan sabar. Sabar disini bukan lagi berarti menahan amarah dan tidak terpancing emosi. Tapi berani berjalan di jalan yang sama untuk waktu yang lama."

Aku berdialog dengan diriku kali ini,

"Tapi, jika aku begini-begini saja, padahal aku merasa aku bisa melakukan hal yang lebih. Bukankah itu sebuah kesia-siaan? Waktu yang diberi, kemampuan yang dikaruniakan, hati yang dilatih, kalau aku hanya begini-begini, tidak bisa segera menjadi seseorang yang mendobrak kenormalan, bukankah aku berarti menyepelekan?"

"Lalu, jawablah. Apakah yang kau cari sebenarnya?"

"Entahlah, aku mulai menemukan tujuan tindakan ini untuk Kemuliaan Tuhan. Maka dari itu aku ingin melakukan hal hebat."

"Mungkin kau salah kaprah mengartikannya."

"Apa maksudmu, hai diriku?"

"Mungkin, untuk Kemuliaan Tuhan berarti mendengarkan hatimu dan menimbang hasratmu. Mungkin kau ingin sekali menjadi seseorang yang harum namanya. Membawa perubahan dunia seperti orang-orang hebat di halaman depan majalah dan diberitakan di seluruh dunia. Tapi, disebelah mana kau dapat menjadikan setiap tindakanmu itu untuk Kemuliaan Tuhan? Atau jangan-jangan kau hanya ingin merasakan rasanya menjadi terdepan dan memikirkan Tuhan belakangan?"

Aku terdiam... Apa iya?

"Hai, kulanjutkan... Mungkin... Mungkin... Bertindak untuk Kemuliaan Tuhan bukanlah suatu hal besar, atau proyek mahakarya luar biasa yang direncanakan dan diupayakan dengan ambisi, mungkin bukan begitu. Mungkin, melakukan sesuatu untuk Kemuliaan Tuhan datangnya tiba-tiba, bahkan ketika otak kita tidak memikirkan apa tindakannya, seperti menolong sesama kita yang miskin dan papa, membantu seorang tua mengangkat barang belanjaannya, atau memberi minum mereka yang lelah seharian bekerja."

"Lalu..." - kataku,

"Bagaimana dengan hasrat didepan mata ini? Aku telah menapaki jalan ini panjang sekali dan aku punya mimpi, mimpi ini pun kuharapkan dapat menjadi bukti cintaku pada Tuhan melalui pelayananku pada sesama?"

Hati terdiam... Bagaimana melawan logika?

"Mungkin... Mungkin... Setelah kau berhasil melepaskan segalanya. Setelah kau tidak khawatir bahwa hidupmu hancur jika tidak memperolehnya, ketika kau meredam ambisi dan membawanya dalam doa sambil terus menjalankan apa yang ada didepan mata, ketika kau bisa dengan jernih melihat bahwa hasrat, mimpi dan cita-cita itu, jika belum bisa diraih, bisa dimulai dengan hal-hal sederhana... Yang tanpa sadar akan membawamu ke arah sana. Ketika kau berhasil melepaskan segalanya, dan mengingat bahwa 'tidak semua hal bisa kita raih di dunia ini, juga tidak semua hal bisa kita miliki di dunia ini' sama seperti kerendahan hati seorang pengemis tua dalam bayangan, yang hanya memohon agar keluarganya mendapat makan hari ini."

Apakah aku egois telah berpikiran seperti ini? Apakah inti dari semua ini?

"Lalu kenapa, untuk satu hal itu saja, perasaan manusia harus dibawa sedemikian rupa berputar-putar? Apa maknanya? Untuk apa?"

"Untuk mengingatkanmu akan hadiah besar nantinya. Untuk mengingatkanmu pula agar jangan pernah sedikit pun merasa kau bisa melakukan semuanya sendirian. Karena kau tidak akan bisa."

"Hadiah apa? Kenapa aku tidak bisa melakukannya sendiri?"

"Sama seperti jatuh cinta. Kau akan melakukan apapun jika kau telah jatuh cinta pada dunia ini. Dan Dia, ingin engkau mulai menyadarinya, dan melepaskan kecintaan itu lalu berbalik kepadaNya. Nyatakan semua yang kau gundahkan dan kau inginkan, dan Ia akan menjadi pembuka jalan terbaik untuk kedua hal tak berakhir itu. Dia ingin, kau mengerti, bahwa ada yang perlu diikhlaskan, yaitu setiap kemungkinan bahwa tidak semua hal akan terwujud, dan tidak akan kau raih, karena jika kau meraihnya, itu akan semakin menjauhkanmu dariNya. Dan untuk mereka yang mampu meraihnya, itu pun jalan terbaik mereka, bisa jadi mereka membutuhkan itu untuk mendekatkan diri padaNya."

.....

"Aku ingin kau tahu, hai aku, bahwa setiap hal punya nilai yang sama... Sebenarnya... Makan nasi dan garam hari ini, dengan dianugerahi penghargaan tingkat internasional, sama berharganya. Menaiki sepeda tua yang rapuh bannya, dengan menggunakan mobil mahal hasil kerja keras bertahun-tahun, sama berharganya... Namun cara Tuhan untuk membuat kita bersyukur ini juga diiringi ujiannya, dan semua kuyakini telah ditimbang oleh Tuhan seberapa kuat seseorang menampungnya."

"Menampung apa?"

"Menampung beban, derita, sukacita, dan hal-hal lainnya. Ada manusia yang tidak bisa menampung dukanya jika diberi kemewahan, yang ia tahu hanya sukanya. Tapi ada juga manusia yang tidak bisa menampung perasaan sukacita yang tumpah ruah karena itu bukan bagaimana hidupnya dibentuk, sehingga ia memilih untuk menerima duka sebagai cara hatinya mendapatkan kesukaan. Bisakah manusia memikirkan semua itu? Bisakah manusia menimbang semua itu?"

"Lantas bagaimana dengan mereka yang..."

"Yang apa? Yang hidupnya diberkahi pada akhirnya? Yang cita-citanya dikabulkan? Yang perjalan hidupnya seakan diubah? Itu pun bukan kejutan. Tuhan tau setiap prosesnya, Tuhan telah mangatur arah hidup kita, namun Dia pun turut ada didalam perjalanan bersama kita untuk memberi kita kebebasan memilih. Namun itulah hebatnya Allah, Tuhan kita. Ketika pada akhirnya menyimpanglah nurani dan sikap diri, Dia menuntun kita untuk melihat kembali jalan yang Ia sediakan. Bukan negosiasi dalam hidup, tapi itulah hal Ilahi dan rahasia yang mungkin tidak akan pernah bisa kita terjemahkan dalam ungkapan manusia. Hanya syukur, penerimaan, keikhlasan dan iman yang mampu menyinarinya dan mengungkapkan makna sebenarnya."

"Lalu, kenapa aku tidak bisa melakukannya sendiri?"

"Jawabannya tetap sama, karena Dia lah yang telah menata semuanya, dan baru saja kau baca."

Tak terasa aku berbicara panjang pada diriku, sejak di kursi itu hingga Romo mengutusku untuk pergi dan menuliskan setiap kata ini.

Aku tidak menemukan alasan lain untuk menjawab hati. Seakan damai rasanya untuk tahu bahwa aku tidak berlomba-lomba di dunia ini. Sama seperti pengemis tua sederhana yang hanya meminta apa yang terbaik bagi keluarganya. Mungkin aku hidup dalam situasi serba berlomba, sehingga aku merasa aku yang tertinggal ini apakah karena kepayahanku? Atau karena memang sedang begitu waktuku?

Aku mulai menyadari letakku di dunia ini, dan bagaimana Tuhan telah menyiapkan semuanya.

Aku... Tentu. Harus menjadi versi terbaik dari diriku, memaksimalkan kemampuan yang telah dikaruniakan, tapi bukan dengan ambisi, bukan dengan memaksakan semuanya terjadi. Tapi dengan memandangnya dengan hati percaya, dan meletakkan setiap harapan pada Kebijaksanaan Tuhan. 

Karena ya, lagi, akan dan selalu.

Manusia dapat berencana, namun kehendak Tuhan lah yang terjadi.

Terimakasih seorang pengemis tua dalam bayangan...

Comments

Popular posts from this blog

AKU (INGIN) BISA MENYELAMATKANMU

Egois, Terdengar sangat egois. Ketika kita ingin menjadi pahlawan bagi orang lain. Meskipun hati kita terasa benar, meskipun arahnya adalah untuk kebaikan seseorang. Tapi ingin menjadi seseorang dengan peran yang tidak sejatinya diberikan pada kita, hanya akan menimbulkan beban hati. Juga tinggi hati. Aku melihat mereka yang belum mengingat Tuhan, dan lupa bahwa aku pun karakter antagonis yang sama, yang berupaya untuk menyelematkan mereka, dengan mencoba memasukkan Tuhan dalam sisip-sisip pikiran mereka yang bercelah. Lalu aku memandang WajahNya, dibawah lilin menyala seusai mendengar FirmanNya. Katanya, " Keselamatan adalah tanggung jawab masing-masing orang. Kamu bisa membantunya, mendorongnya, tapi jika dia sendiri yang tidak menginginkannya, maka hanya doa yang bisa menjangkaunya." Aku menuliskan ini tidak untuk seorang dua orang, semua, yang selalu aku pedulikan hidupnya. Tapi rupanya, memaksakan Tuhan dan segala ajaranNya didalam diri mereka hanya akan mengundang lara.

AMBISI YANG AMBIGU - KENAPA TERLALU BANYAK HASRAT DALAM DIRI?

Pada mulanya hati ini dipenuhi dengan hasrat Sebuah keinginan tak berupa yang terwujud melalui rasa Terkadang angan pun ikut bermain peran Namun bagaimana hal itu hadir, masihlah sebuah misteri Ilahi Aku ingin seumur hidupku untukMu Tuhan Namun aku egois karena aku ingin caraku Ingin menebak tujuan hidupku melalui pemahamanku Pemahamanku tentang garis hidup yang telah Engkau bentangkan bagiku Aku mencintai sebuah aspek dari dunia ini Dan aku ingin mahir menguasainya Aku ingin tenggelam didalamnya Agar menjadi bermanfaat bagi sesama Tapi nyatanya... aku masih bertanya-tanya Betulkah yang ingin kulakukan itu Atau keliru? Aku mencari di setiap detikku Doa terkadang seperti ucapan berulang Iman seperti terbang ke gurun Hati seperti tak terasa Apakah aku ini dan mengapa? ... Namun setelah beribu malam penuh tanda tanya Aku mencoba mendengarkan bisikanMu Atau juga hanya pradugaku, namun hatiku memaparkan segalanya ... Bagaimana kau bisa tahu jika tidak mencobanya? ... Apa maksudnya? ... Baga

KESUCIAN

Ada penempatan hati yang salah Ketika keinginan untuk menjadi orang suci bergulir di lidah Menjadi suci, apakah untuk memberi gelar diri sendiri? Menjadi suci, apakah hanya untuk mengejar surga demi keselamatan diri? Kita memohon anugerah untuk mampu hidup kudus Untuk memperbaiki hati yang salah dalam memandang dunia Untuk menarik kembali bagian diri yang tenggelam dalam kenikmatan fana Untuk belajar mencintai-Nya, dan bukan semakin mendewakan diri Lalu bagaimana memaknainya? Adalah bukan dengan memaksa diri menjadi orang kudus Adalah bukan dengan berlomba menjadi yang paling suci Adalah bukan dengan ingin dunia mengetahui betapa tanpa cacat celanya diri Melainkan menjadi tidak terlihat Kita dimurnikan dengan penderitaan Kita dikuduskan dengan kekeringan Yang menjadikan mata kita dan hati kita hanya bertuju pada satu Rindu untuk selalu dekat dengan Tuhan, Allah kita Menjadi kudus bukan dengan teori tidak pernah marah Menjadi kudus bukan dengan pemberitaan bahwa "saya akan jadi bai